Selasa, 17 November 2015

Cerita Seputar Ciliwung

Ahok Memuji dan Mengkhianati Orang Betawi

 Agen13 "jakarta adalah kota sungai karena ada 13 sungai yang melintasinya dengan Ciliwung sebagai sungai yang terpenting. Memiliki panjang kurang-lebih 120 kilometer dengan tangkapan air (daerah aliran sungai) seluas 387 kilometer persegi, pada masanya lebar Kali Ciliwung 30-50 meter, sehingga di bagian hilir dapat dilayari oleh perahu kecil untuk berdagang.

Kekuatan Jakarta sebagai kota sungai, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia, J.J. Rizal, disadari betul oleh kolonial Belanda. Sehingga mereka menjadikan sungai sebagai sumber daya alam dan pertahanan kota yang mumpuni. "Dan masyarakat Betawi punya kearifan untuk hidup harmonis dengan sungai, khususnya di Ciliwung," kata Rizal dalam diskusi bertajuk "Orang Betawi dan Ciliwung" yang digelar Komunitas Bambu, Minggu, 15 November 2015.

Kearifan yang dia maksud antara lain kebiasaan orang-orang Betawi di sekitar Ciliwung merawat pepohonan di sekitarnya tumbuh rindang dan lebat. Mereka juga tak pernah membuang sampah ke sungai, tapi menguburnya di halaman belakang rumah.

Indikasi keakraban masyarakat Betawi dengan kehidupan sungai dan kerimbunan pepohonan, kata dia, sejumlah daerah di Jakarta dinamai dengan awalan "ci". Ada juga yang diawali dengan kata "rawa", "setu", atau "kedung". "Sedangkan dari sisi arsitektur, bangunan tempat tinggal yang berupa rumah panggung menjadi isyarat bagaimana orang Betawi bersiasat secara harmonis dengan air atau sungai," kata Rizal.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pun mengaku dan pernah memuji kearifan orang Betawi. Mereka, kata dia, tergolong cerdas karena punya kearifan tersendiri dalam berinteraksi dengan Sungai Ciliwung. Mereka biasa merawat dan melestarikan pepohonan di sekitar Ciliwung tumbuh besar. Hal itu tak cuma membuat kawasan menjadi teduh dan udara lebih sejuk, tapi juga membantu mencegah erosi pada tepian sungai.

"Kami sudah pelajari, ternyata Ciliwung yang lama itu orang Betawi menikmati karena tepiannya ada pohon rindang," kata Ahok di hadapan para tokoh Betawi yang tergabung dalam Badan Musyawarah Masyarakat Betawi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, 23 Agustus lalu.

Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya pendatang, sungai yang menjadi ikon banjir Jakarta itu berubah fungsi. Sepanjang bantaran yang awalnya banyak tumbuh pohon rindang justru dibabat menjadi perkampungan kumuh. "Pendatang inilah yang menebangi pohon, menduduki sungai. Memasang jembatan untuk nampung sampah," ujar Ahok.

Sayang, pujian Ahok terhadap kearifan orang Betawi itu sepertinya cuma di bibir. Mantan Bupati Belitung Timur itu tak meniru dan mengimplementasikannya dalam kebijakan. Lewat program Normalisasi Ciliwung, dia justru membeton bantaran Ciliwung sepanjang 19 kilometer dari wilayah TB Simatupang hingga Manggarai. Padahal, kawasan di sana masih hijau dengan aneka pohon lokal, seperti bambu, loa, dan renggas.

"Itu kebijakan jalan pintas yang serba-ingin praktis. Padahal itu justru bisa merusak ekosistem sungai. Begitu juga pohon-pohon hijau akan hilang digantikan beton," kata Direktur Eksekutif Ciliwung Institute Sudirman Asun saat berbincang dengan detikcom, Jumat, 13 November 2015.

Pembetonan, ia melanjutkan, dapat menyebabkan aliran air makin deras, sehingga banjir di kawasan hilir akan cepat terjadi. Padahal, idealnya, laju volume air bisa ditahan selama mungkin sejak dari hulu. "Pembetonan juga menunjukkan pemda DKI tak mematuhi Undang-Undang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan Perda DKI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Badan Sungai Sebagai Kawasan Strategis.

Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Forum Daerah Aliran Sungai Jakarta Alip Purnomo juga menentang kebijakan pembetonan tersebut. Di kanan-kiri sungai, kata dia, semestinya bebas dari bangunan dan dibiarkan menjadi tangkapan air dengan pepohonan dan ekosistem alami. Dengan begitu, manfaat air sungai dapat dimaksimalkan untuk kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia di sekitarnya.

"Dengan ekosistem sekitar sungai yang alami dan lestari, manusia diuntungkan dalam banyak hal, di antaranya pasokan air tanah yang stabil dan kualitas udara yang relatif lebih baik karena banyak pepohonan," ujar sarjana antropologi dari Universitas Indonesia itu.

Ketimbang melakukan pembetonan yang izin analisis mengenai dampak lingkungannya belum jelas, sebaiknya Ahok bekerja sama dengan pemerintah Jawa Barat membenahi kawasan Puncak, Bogor, sebagai hulu Ciliwung. Sebab, salah satu penyebab utama banjir adalah rusaknya area hutan di Puncak karena digantikan oleh vila-vila. "Sejak masa Belanda, perusakan dimulai dengan mengubah hutan di sana menjadi perkebunan teh," ujarnya.

Upaya mengatasi banjir dengan pembetonan, menurut Rizal, hanya akan mengulang kegagalan Belanda pada masa lalu, yang pernah membangun kanal-kanal, sodetan, terusan, dan saluran (drain). Misalnya penggalian kanal Kali Malang, yang menghubungkan daerah Manggarai dengan Karet atau kemudian dikenal sebagai Kanal Banjir Barat, pada awal abad ke-20. Langkah ini kemudian ditiru pada pertengahan 1980-an dengan menggali Cengkareng Drain, Cakung Drain, serta Sodetan Kali Sekretaris. Nyatanya, kanal-kanal itu tak dapat berfungsi maksimal membantu menggelontorkan air hujan dengan cepat ke Teluk Jakarta.

 Jadi, selama kurun waktu sekitar tiga perempat abad (1911-1985), bermacam usaha pemerintah untuk mengendalikan banjir, termasuk membangun kanal, terbukti tak mampu membebaskan warga Jakarta dari ancaman banjir," kata Rizal merujuk disertasi Restu Gunawan yang telah dibukukan menjadi Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa.

Alih-alih berkaca dari sejarah, Ahok justru bertekad membeton semua sungai di Jakarta untuk mencegah banjir. Alasannya, sungai yang ada tak mungkin lagi diperlebar. Ia juga berencana menambah sodetan di sekitar Kampung Melayu dan Bukit Duri. Tapi, ujarnya, hal itu masih terhambat pembebasan lahan.

"Semua sungai harus diberi sheet pile (turap) di tengah kota. Sheet pile dan bikin tembok. Karena lebar sungai sudah enggak cukup. (Kalau) kita mau bikin sheet pile kan perlu ada jalan inspeksi juga," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Senin, 16 November. Setelah pembangunan turap dan sodetan itu selesai, kata Ahok, DKI Jakarta bakal aman dari banjir kiriman.

Mengomentari rencana Ahok itu, Rizal lewat akun Twitter-nya berkicau singkat: Pongah + tanpa pengetahuan = bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments System

Disqus Shortname