Cerita Seputar Ciliwung
Ahok Memuji dan Mengkhianati Orang Betawi
Agen13 "jakarta adalah kota sungai karena ada 13 sungai yang melintasinya dengan
Ciliwung sebagai sungai yang terpenting. Memiliki panjang kurang-lebih
120 kilometer dengan tangkapan air (daerah aliran sungai) seluas 387
kilometer persegi, pada masanya lebar Kali Ciliwung 30-50 meter,
sehingga di bagian hilir dapat dilayari oleh perahu kecil untuk
berdagang.
Kekuatan Jakarta sebagai kota sungai, menurut
sejarawan dari Universitas Indonesia, J.J. Rizal, disadari betul oleh
kolonial Belanda. Sehingga mereka menjadikan sungai sebagai sumber daya
alam dan pertahanan kota yang mumpuni. "Dan masyarakat Betawi punya
kearifan untuk hidup harmonis dengan sungai, khususnya di Ciliwung,"
kata Rizal dalam diskusi bertajuk "Orang Betawi dan Ciliwung" yang
digelar Komunitas Bambu, Minggu, 15 November 2015.
Kearifan yang dia maksud antara lain kebiasaan orang-orang Betawi di
sekitar Ciliwung merawat pepohonan di sekitarnya tumbuh rindang dan
lebat. Mereka juga tak pernah membuang sampah ke sungai, tapi
menguburnya di halaman belakang rumah.
Indikasi keakraban
masyarakat Betawi dengan kehidupan sungai dan kerimbunan pepohonan, kata
dia, sejumlah daerah di Jakarta dinamai dengan awalan "ci". Ada juga
yang diawali dengan kata "rawa", "setu", atau "kedung". "Sedangkan dari
sisi arsitektur, bangunan tempat tinggal yang berupa rumah panggung
menjadi isyarat bagaimana orang Betawi bersiasat secara harmonis dengan
air atau sungai," kata Rizal.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok pun mengaku dan pernah memuji kearifan orang Betawi.
Mereka, kata dia, tergolong cerdas karena punya kearifan tersendiri
dalam berinteraksi dengan Sungai Ciliwung. Mereka biasa merawat dan
melestarikan pepohonan di sekitar Ciliwung tumbuh besar. Hal itu tak
cuma membuat kawasan menjadi teduh dan udara lebih sejuk, tapi juga
membantu mencegah erosi pada tepian sungai.
"Kami sudah pelajari,
ternyata Ciliwung yang lama itu orang Betawi menikmati karena tepiannya
ada pohon rindang," kata Ahok di hadapan para tokoh Betawi yang
tergabung dalam Badan Musyawarah Masyarakat Betawi di Lapangan Banteng,
Jakarta Pusat, 23 Agustus lalu.
Namun, seiring berjalannya waktu
dan banyaknya pendatang, sungai yang menjadi ikon banjir Jakarta itu
berubah fungsi. Sepanjang bantaran yang awalnya banyak tumbuh pohon
rindang justru dibabat menjadi perkampungan kumuh. "Pendatang inilah
yang menebangi pohon, menduduki sungai. Memasang jembatan untuk nampung sampah," ujar Ahok.
Sayang, pujian Ahok terhadap kearifan orang Betawi itu sepertinya cuma
di bibir. Mantan Bupati Belitung Timur itu tak meniru dan
mengimplementasikannya dalam kebijakan. Lewat program Normalisasi
Ciliwung, dia justru membeton bantaran Ciliwung sepanjang 19 kilometer
dari wilayah TB Simatupang hingga Manggarai. Padahal, kawasan di sana
masih hijau dengan aneka pohon lokal, seperti bambu, loa, dan renggas.
"Itu
kebijakan jalan pintas yang serba-ingin praktis. Padahal itu justru
bisa merusak ekosistem sungai. Begitu juga pohon-pohon hijau akan hilang
digantikan beton," kata Direktur Eksekutif Ciliwung Institute Sudirman
Asun saat berbincang dengan detikcom, Jumat, 13 November 2015.
Pembetonan,
ia melanjutkan, dapat menyebabkan aliran air makin deras, sehingga
banjir di kawasan hilir akan cepat terjadi. Padahal, idealnya, laju
volume air bisa ditahan selama mungkin sejak dari hulu. "Pembetonan juga
menunjukkan pemda DKI tak mematuhi Undang-Undang RTRW (Rencana Tata
Ruang Wilayah) dan Perda DKI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Badan Sungai
Sebagai Kawasan Strategis.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris
Forum Daerah Aliran Sungai Jakarta Alip Purnomo juga menentang kebijakan
pembetonan tersebut. Di kanan-kiri sungai, kata dia, semestinya bebas
dari bangunan dan dibiarkan menjadi tangkapan air dengan pepohonan dan
ekosistem alami. Dengan begitu, manfaat air sungai dapat dimaksimalkan
untuk kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia di
sekitarnya.
"Dengan ekosistem sekitar sungai yang alami dan
lestari, manusia diuntungkan dalam banyak hal, di antaranya pasokan air
tanah yang stabil dan kualitas udara yang relatif lebih baik karena
banyak pepohonan," ujar sarjana antropologi dari Universitas Indonesia
itu.
Ketimbang melakukan pembetonan yang izin analisis mengenai
dampak lingkungannya belum jelas, sebaiknya Ahok bekerja sama dengan
pemerintah Jawa Barat membenahi kawasan Puncak, Bogor, sebagai hulu
Ciliwung. Sebab, salah satu penyebab utama banjir adalah rusaknya area
hutan di Puncak karena digantikan oleh vila-vila. "Sejak masa Belanda,
perusakan dimulai dengan mengubah hutan di sana menjadi perkebunan teh,"
ujarnya.
Upaya mengatasi banjir dengan pembetonan, menurut
Rizal, hanya akan mengulang kegagalan Belanda pada masa lalu, yang
pernah membangun kanal-kanal, sodetan, terusan, dan saluran (drain).
Misalnya penggalian kanal Kali Malang, yang menghubungkan daerah
Manggarai dengan Karet atau kemudian dikenal sebagai Kanal Banjir Barat,
pada awal abad ke-20. Langkah ini kemudian ditiru pada pertengahan
1980-an dengan menggali Cengkareng Drain, Cakung Drain, serta Sodetan
Kali Sekretaris. Nyatanya, kanal-kanal itu tak dapat berfungsi maksimal
membantu menggelontorkan air hujan dengan cepat ke Teluk Jakarta.
Jadi, selama kurun waktu sekitar tiga perempat abad (1911-1985),
bermacam usaha pemerintah untuk mengendalikan banjir, termasuk membangun
kanal, terbukti tak mampu membebaskan warga Jakarta dari ancaman
banjir," kata Rizal merujuk disertasi Restu Gunawan yang telah dibukukan
menjadi Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa.
Alih-alih
berkaca dari sejarah, Ahok justru bertekad membeton semua sungai di
Jakarta untuk mencegah banjir. Alasannya, sungai yang ada tak mungkin
lagi diperlebar. Ia juga berencana menambah sodetan di sekitar Kampung
Melayu dan Bukit Duri. Tapi, ujarnya, hal itu masih terhambat pembebasan
lahan.
"Semua sungai harus diberi sheet pile (turap) di tengah kota. Sheet pile dan bikin tembok. Karena lebar sungai sudah enggak cukup. (Kalau) kita mau bikin sheet pile
kan perlu ada jalan inspeksi juga," kata Ahok di Balai Kota Jakarta,
Senin, 16 November. Setelah pembangunan turap dan sodetan itu selesai,
kata Ahok, DKI Jakarta bakal aman dari banjir kiriman.
Mengomentari rencana Ahok itu, Rizal lewat akun Twitter-nya berkicau singkat: Pongah + tanpa pengetahuan = bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar